Pagi yang beku. Sebeku hati manusia-manusia metropolitan. Langit juga beku. Melepaskan tetes-tetes peluhnya hingga menyentuh bumi. Tetes demi tetes menyatu dan mengalir. Sesekali terhenti oleh tumpukan sampah, terpecah membentuk aliran baru lalu masuk ke dalam selokan.
Sepasang kaki telanjang memecah arak-arakan air yang tenang. Bocah laki-laki itu berlari, menyambar sebuah payung yang warnanya sudah luntur terseret air hujan. Rupanya hujan memiliki kebahagiaan tersendiri baginya. Bukan. Bukan karena dia bisa menjadi bagian dari arak-arakan air itu. Tapi karena angannya yang membayangkan berapa rupiah yang dapat ia peroleh dari hujan. Bocah itu berlari menyusuri lorong-lorong kumuh. Memecah kesunyian dengan suara cipratan air yang diciptakan kaki-kaki kecilnya.
Aku berdiri memetung menatap sinis tetes demi tetes air langit jatuh menimpa bumi. Orang-orang lalu-lalang berjalan cepat dengan peyung-payung di tangan. Aku memilih tak berbaur dengan mereka melainkan berlindung pada forum toko dari serbuan hujan hujan sepagi ini pasti mengacaukan suasana hati semua orang. Sesekali kulirik arloji di tangan kiriku, ku ketuk-ketuk kaca arluji itu. Berharap jarumnya macet sehingga tak bekerja terlalu cepat.
Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan dingin menyentuh lenganku. Aku menoleh kepada si pemilik. Kudapati sebuah senyum padawajah itu. Wajah seorang bocah laki-laki berusia sekitar 12 tahun.
“ Ojek payung mbak?”
Aku mengangguk. Tanpa kata lagi dia mengantarku menerjang hujan dengan perlindungan paying di tangannya. Bocah itu berjalan dengan riang, menyanyikan sebuh lagu yang sama sekali tak aku mengerti.
“Kamu nggak sekolah?”
Pertanyaanku berhasil menghentikan senandung lagunya. Bocah itu tersenyum. “Libur mbak”
“sekarang masih hari senin, kenapa libur?”
“kalau hari hujan begini, saya lebih milih libur mbak. Kan lumayan bisa dapat duit.” Aku melihat matanya yang bening. Berkilauan seakan merajut harapan tentang hidup yang sempurna dengan keinginannya.
“Jangan sering bolos. Apa kamu nggak takut ketinggalan pelajaran?” kataku meggurui
Dia mengangkat bahu dengan enteng. “ entah, saya bisa belajar di rumah. Dibanding belajar sekolah, dalam keadaan begini lebih baik saya kerja. Bisa beli makan buat adik-adik saya”
Aku memandang wajah bocah itu. Dia menceritakan tentang dia dan dua orang adiknya yang sejak kecil diasuh oleh neneknya yang sudah tua. Tentang orang tuanya yang pergi empat tahun lalu dan tak pernah kembli ataupun memberi kabar. Melihatku yang hanya terdiam dan tak mengucapkan sepatah katapun , dia berhenti bicara dan memalingkan wajahnya ke arah jalanan aspal basah yang kami lewati.
Tiba di depan kantor, aku berhenti dalam diam merogoh dompet di tasku. Aku menyerahan dua lembar uang lima puluh ribu. Bocah itu terkejut.
“uangnya kelebihan mbak” dia berteriak ke arahku yang berlari terburu-buru memasuki pintu kantor.
“itu buat kamu dan adik-adikmu” aku tersenyum. Bocah itu memandang uang yang ada di tangannya.
Aku kembali berlari menuju kolom kerjaku. Tergoda untuk melihat di balik jendela. Aku mendapati bocah kecil itu berlari-lari kegirangan di tengah serbuan hujan. Ia bersyukur atas rejeki yang didapatnya hari ini. Aku menggelengkan kepalaku sambil tersenyum.
Sungguh teramat banyak hal yang membuat hati ini lebih bergemuruh jika kita mau mendekat, melihat dan mendengarnya dari sekitar kita, banyak suara-suara yang tak sanggup telinga ini mendengarnya, banyak tangis yang mengiris-iris hati, dan banyak pemandangan yang membuat terenyuh. Sungguh teramat banyak hal di dunia dimana kita lupa untuk mensyukurinya. Dari setiap nafas yang kita hirup, dari setiap langkah yang kita tapaki. Sayangnya, kita sering terlupa untuk melihat dan mendekat.
kunjungi juga:
http://umm.ac.id
archie-ayy.blogspot.com